Visualisasi data lebih dari sekadar membuat grafik yang indah dilihat mata. Tujuan dari visualisasi data adalah membuat data yang banyak dan rumit dipahami menjadi mudahdibaca dan dicerna polanya lewat grafik. Namun sering kali, jurnalis terlena dengan mencoba membuat visualisasi data yang lebih mengutamakan estetika dan faktor ‘keren’ dilihat, ketimbang tujuan awal dari pembuatan grafik itu sendiri.
Sebagai contoh, Anda sebagai jurnalis ditugaskan untuk membuat grafik yang menggambarkan negara eksportir jahe terbesar di dunia. Mari menggunakan permisalan tersebut dalam setiap pembahasan kesalahan umum yang dilakukan jurnalis dalam mengolah visualisasi data di bawah ini:
- Memilih bentuk grafik sesuai kesukaan pribadi
Grafik apa yang akan Anda gunakan untuk menggambarkan negara eksportir jahe terbesar di dunia? Apakah grafik batang? Atau pemetaan?
Mengapa Anda memilih jenis grafik tersebut? Jika memilih grafik batang, apakah karena grafik batang termasuk grafik yang umum digunakan? Atau jika pemetaan, apa karena pemetaan atau yang dikenal dengan mapping ini selalu menjadi favorit Anda?
[Baca artikel: Mengenal Bentuk Grafik yang Sesuai untuk Visualisasi Data]
Pemilihan bentuk grafik seharusnya sesuai dengan tujuan Anda dalam mengemas informasi itu sendiri. Selain faktor estetika, bagaimana Anda ingin audiens atau Anda sendiri sebagai pengolah data, bisa memahami data tersebut? Perlu diketahui pula bahwa setiap grafik memiliki kekuatannya masing-masing.
Kembali ke contoh eksportir jahe global. Apakah Anda lebih ingin menonjolkan perbandingan jumlah jahe yang diekspor tiap negara dan melihat besarnya selisih antar negara? Maka grafik batang lebih cocok untuk Anda gunakan. Atau, Anda lebih ingin melihat sebaran, benua mana yang memiliki negara dengan intensitas ekspor jahe terbanyak, pemetaan bisa jadi jawaban Anda.
- Tidak memulai grafik dari sumbu 0
Salah satu kesalahan umum terutama dalam membuat grafik batang dan grafik garis adalah tidak memulai grafik dari sumbu 0.
Ketika memvisualisasikan negara eksportir jahe dalam grafik batang misalnya, Anda melihat bahwa sumbu Y yang dibuat dari angka 0 tidak relevan karena negara yang Anda tampilkan semuanya berada di kisaran ribuan ton. Anda kemudian memulai sumbu Y dengan nominal ratusan ton.
Walaupun yang Anda sampaikan mungkin akurat secara statistik, data yang Anda gambarkan dapat membingungkan dan menyesatkan pembaca. Audiens tidak bisa membayangkan secara akurat besaran jumlah jahe karena grafik yang Anda buat dimulai langsung dari ratusan ton, bukan 0.
- Membiarkan data berbicara dengan sendirinya
Kesalahan berikutnya adalah membuat grafik dan mengharapkan audiens bisa membaca dan memahaminya dengan sendirinya.
Mungkin Anda berpikir, tujuan Anda membuat grafik adalah agar Anda tidak perlu repot-repot menjelaskan ke audiens lewat teks. Tentu saja, audiens menyukai grafik yang menarik lebih dibandingkan teks yang panjang. Namun, jika Anda membiarkan grafik itu berdiri sendiri untuk berbicara tanpa penjelasan, bisa menimbulkan miskonsepsi visualisasi data menurut Alberto Cairo, jurnalis sekaligus penulis buku ‘How Charts Lie’.
Ketika membuat grafik batang terkait negara eksportir jahe terbanyak di dunia, Anda sebagai jurnalis memang sedari awal hanya ingin menampilkan negara-negara di kawasan Asia yang kaya akan rempah-rempah. Namun, Anda tidak menjelaskannya lewat judul, maupun teks pengiring. Alhasil, audiens memahami grafik Anda dengan makna bahwa hanya di negara-negara di Asia lah yang paling banyak mengekspor Jahe. Padahal, Anda tidak mengikutsertakan negara-negara penghasil Jahe terbesar lainnya, misalnya di Nigeria, Afrika.
Cairo menyebut, grafik perlu untuk dijelaskan agar dapat dipahami dan diintepretasikan dengan benar.
- Terlalu menyederhanakan data, dan sebaliknya, terlalu banyak detail yang mendistraksi audiens
Menurut Alberto Cairo, menyederhanakan data berarti membatasi data yang ditampilkan. Terkadang ini bisa menjadi keputusan yang tepat agar audiens tidak terdistraksi dengan junk charts– terlalu banyak elemen visualisasi data yang melelahkan. Apalagi jika ruang untuk visualisasi data tidak banyak. Namun di satu sisi, jika penyederhanaan ini terlalu berlebihan, data yang divisualisasikan bisa menyesatkan dan menimbulkan lebih banyak asumsi.
Cairo menyebut bahwa jurnalis perlu tahu takaran yang benar dalam menyuguhkan detail data agar bisa diterima audiens dengan tepat.
- Penggunaan warna yang membingungkan
Anda menyukai grafik dengan warna yang beragam? Warna memang menjadi salah satu simbol untuk membedakan kategori atau mengelompokkan data. Namun, jika Anda secara berlebihan menggunakan pembeda warna tanpa dasar, bukan hanya Anda membingungkan audiens, tetapi Anda juga boros dalam menggunakan ruang untuk penjelasan legenda Anda.
Ambil contoh pemetaan negara eksportir jahe terbesar. Pada umumnya, data yang ditampilkan akan disuguhkan dengan intensitas satu warna di mana negara dengan jumlah ekspor jahe terbesar akan lebih intens dan kemudian semakin menipis transparansinya seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ekspor jahe di negara lain.
Namun, alih-alih, Anda menggunakan warna merah tua untuk negara pengekspor jahe terbesar, biru untuk negara pengekspor jumlah sedang, dan abu-abu untuk negara pengeskpor jahe jumlah sedikit. Pewarnaan ini akan sangat membingungkan audiens.
—
Yuk, mulai hindari kesalahan-kesalahan umum dalam mengolah visualisasi data di atas!
Sumber: Amr Eleraqi/IJNet; Alberto Cairo/The Truthful Art; Sarah Leo/The Economist; Datajournalism.com