Data-Savvy: Perlukah dalam Jurnalisme?

Data WHO Januari 2020 yang diolah menjadi infografis oleh jurnalis data Niall McCarthy | Foto oleh Hello I'm Nik/Unsplash

“Jurnalisme Data adalah masa depan”.

Kalimat ini adalah kutipan dari para praktisi jurnalisme data dalam The Data Journalism Handbook di tahun 2012. Bagaimana kalimat ini kemudian menjadi relevan dengan kondisi sekarang?

Sejak awal penyebaran pandemi Covid-19, data bermunculan dan menjadi asupan ruang redaksi media seluruh dunia, lebih dari sebelumnya. Tidak terkecuali Indonesia, yang mengumumkan kasus Covid-19 pertamanya pada Maret 2020.

Informasi, khususnya data seputar pandemi mulai yang bersumber dari lembaga pemerintahan, organisasi non-pemerintah, hingga penelitian oleh pakar menyeruak di mana-mana. Baik data kasus penyebaran kasus, hingga data lain yang menjadi dampak dari pandemi. Masyarakat terus mencari dan disuguhkan dengan data, data, dan data. Baik data yang akurat maupun yang tidak.

Data yang diberitakan di media menjadi salah satu faktor kuat dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah dan pengambilan keputusan oleh masyarakat. Bagaimanakah pergerakan masyarakat pasca penerapan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat)? Seberapa banyak kasus harian yang kemudian menentukan apakah masyarakat harus bekerja dari rumah atau kantor dan apakah anak-anak bisa mulai masuk sekolah? Sektor perekonomian apa yang menjadi potensial untuk masyarakat memulai usaha atau mencari pekerjaan baru selama dan pasca pandemi?

Di tengah situasi tidak terduga ini, jurnalis mengambil posisi penting dalam menyajikan berita yang sudah disaring dari data yang tidak akurat, hoaks, dan disinformasi kepada masyarakat luas. Peran jurnalis sekarang tidak hanya berfokus sebagai garda pertama tercepat yang melaporkan suatu kasus, tetapi juga menjelaskan apa arti sebenarnya dari suatu perkembangan kasus. Reuters Institute menyebut tren untuk ruang redaksi ini sebagai momen untuk  “memfokuskan jurnalisme kembali pada fakta, paparan, dan spesialisasi”.

Ruang redaksi yang sebelum pandemi sudah mulai mengeksplorasi analisis data dan visualisasi data berada dalam posisi yang menguntungkan di tengah situasi banjirnya data selama pandemi. Di sisi lain, artikel oleh Global Investigative Journalism Network (GIJN) menulis pandemi menyadarkan media yang sebelumnya meremehkan dan merasa bahwa mempelajari analisis data dan visualisasi data tidaklah penting.

Bukan hanya data yang memengaruhi ruang redaksi selama pandemi, tetapi juga inovasi teknologi yang berkembang pesat. Ruang redaksi harus berkembang untuk mengikuti arah minat audiens dalam mencerna banyaknya informasi. Teknologi seperti mesin pembelajar (machine learning), kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), realita maya (Virtual Reality), and realitas berimbuh (Augmented Reality), bot, dan pesawat nirawak (drone) adalah beberapa teknologi yang disebut menjadi sering digunakan di banyak ruang redaksi di seluruh dunia.

Dengan segala perkembangan dunia komputasi dan data dalam ruang redaksi, ditambah adanya jurnalisme yang berfokus pada fakta, masa depan jurnalisme tampak cerah. Menjadi jurnalis yang ‘data-savvy’ berarti memiliki kemungkinan lebih untuk mendapat wawasan dan sudut pandang baru dalam membuat berita.

Namun semua ini bukan tanpa tantangan. Ruang redaksi di seluruh Indonesia boleh berlomba-lomba menyuguhkan data dengan visualisasi yang inovatif dan indah di mata, tetapi tanpa literasi dan pengetahuan etika penyuguhan data yang cukup, berita yang dibuat jurnalis malah dapat menyesatkan masyarakat.

Menurut Co-Founder Datawrapper, Mirko Lorenz, salah satu cara dalam menjawab pekerjaan rumah untuk bisa memaksimalkan potensi data dalam ruang redaksi ini adalah dengan memulai pelatihan bagi jurnalis sebagai langkah awal bagaimana bekerja dengan data, hingga kemudian bisa menjadikan data sebagai basis dari seluruh pekerjaan jurnalistik.

Setelah sebelumnya melakukan pelatihan jurnalisme data dan komputasi pada tahun 2019 dan 2021, Data and Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) akan diadakan selama empat hari dari 27-30 Juli 2022 untuk memenuhi kebutuhan dunia jurnalisme Indonesia terhadap pengelolaan data dan penggunaan teknologi untuk memaksimalkan kerja jurnalistik yang baik. DCJ-CI akan diselenggarakan hybrid, dengan dua hari secara daring melalui platform Zoom dan dua hari secara tatap muka. Rangkaian acara pelatihan dan konferensi DCJ ini sepenuhnya didukung oleh Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia. “Dalam era banjirnya informasi, jurnalis dibutuhkan lebih dari sebelumnya untuk mengkurasi, memverifikasi, menganalisis, dan mengolah data. Dalam konteks ini, jurnalisme data memiliki peran penting bagi masyarakat,” – The Data Journalism Handbook.

Bagikan Artikel Ini :

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn

Instagram